Tuesday, August 12, 2008

Gaji tinggi bukan segalanya...Benarkah ini???


Mengapa perputaran karyawan tinggi walaupun remunerasinya di atas rata-rata? Uangkah pemicunya? Atau ada faktor lain yang menentukan kesetiaan mereka?

Akhir tahun lalu, Lesmana, seorang teman lama yang ahli dalam pengembangan bisnis telekomunikasi mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan multinasional untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Dia tertarik dan memutuskan untuk bergabung. Dia telah banyak mendengar tentang pimpinan perusahaan ini, yang sering diberitakan sebagai pemimpin visionaris dan legendaris.

Gaji Lesmana besar, perlengkapan kantornya mutakhir, teknologinya canggih, kebijakan SDM-nya pro-karyawan, kantornya megah di daerah Segitiga Emas, bahkan kantinnya menyajikan makanan yang lezat dan murah. Dua kali dia dikirim keluar negeri untuk pelatihan. "Proses pembelajaran saya adalah yang tercepat di sini," kata Lesmana.

"Sungguh menakjubkan bekerja dengan dukungan teknologi mutakhir seperti di perusahaan ini". Siapa nyana dua minggu lalu, belum genap tujuh bulan bekerja di perusahaan itu, dia mengundurkan diri. Lesmana belum mendapatkan tawaran pekerjaan lain, tapi dia tidak sanggup lagi bertahan di sana. Belakangan, sejumlah karyawan di divisi yang sama dengannya ikut resigned. Direktur utama perusahaan itu pun merasa tertekan karena perputaran (turnover) karyawan sangat tinggi. Cemas memikirkan biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan untuk alokasi dana pelatihan karyawan. Ia juga bingung lantaran tidak tahu apa gerangan yang terjadi. Mengapa karyawan yang bertalenta bagus ini mengundurkan diri, padahal gajinya sudah cukup tinggi?

Lesmana resigned karena beberapa alasan. Alasan ini juga yang menyebabkan sebagian besar karyawan lain yang bertalenta tinggi akhirnya mengundurkan diri.

Beberapa survey membuktikan bahwa jika kita kehilangan karyawan berbakat, periksalah atasan langsung mereka. Si atasan adalah alasan utama karyawan tetap bekerja dan berkembang dalam suatu perusahaan. Namun dia jugalah yang menjadi alasan utama mengapa para karyawan berhenti dari pekerjaannya, membawa pergi pengetahuan, pengalaman dan klien mereka. Bahkan tidak jarang selanjutnya secara terang-terangan berkompetisi dengan perusahaan bekas tempatnya bekerja.

"Karyawan meninggalkan manajernya bukan perusahaannya", kata para ahli SDM. Begitu banyak uang yang telah dikeluarkan untuk tetap mempertahankan karyawan berbakat, baik dengan memberikan gaji lebih tinggi, bonus ekstra maupun pelatihan mahal. Namun pada akhirnya, perputaran karyawan kebanyakan disebabkan oleh manajer/ pimpinannya, bukan oleh hal lain.

Jika kita mengalami masalah turnover, maka pertama-tama periksalah kembali para manajer kita. Apakah mereka biang keladi yang membuat para karyawan tidak betah? Pada tahap tertentu, karyawan tidak lagi melihat jumlah uang yang ia dapatkan, tapi lebih kepada bagaimana mereka diperlakukan dan seberapa besar perusahaan menghargai mereka..

Kedua hal ini umumnya tergantung dari sikap para pimpinan terhadap mereka. Dan sejauh ini, bekerja dengan atasan yang buruk sering dialami oleh para karyawan yang bekerja dengan baik. Survey majalah Fortune beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa 75% karyawan menderita karena berada di bawah atasan yang menyebalkan.

Dari seluruh penyebab stress di tempat kerja, seorang atasan yang jahat mungkin adalah hal yang terburuk, yang secara langsung akan mempengaruhi kinerja dan mental para karyawan.

Simak saja kisah yang dikutip langsung dari "medan perang" ini. Mulya seorang insinyur, masih bergidik saat membayangkan hari-hari dimana ia dimaki-maki bos di depan staf lainnya. Atasannya itu sering menghina dengan kata-kata yang kasar. Waktu menghadapi hal menakutkan itu, Mulya praktis tak punya nyali untuk menjawab. Ia kembali ke rumah dengan perasaan tidak keruan dan mulai menjadi kasar seperti sang atasan. Bedanya kekesalan ini dilampiaskan ke istri dan anak-anaknya, kadang juga ke kucing peliharaannya. Lambat laun, bukan pekerjaan Mulya saja yang kacau balau, pernikahan dan keluarganya pun hancur berantakan.

Nasib Agus juga setali tiga uang. Menceritakan "penyiksaan" yang dilakukan oleh bosnya gara-gara ada perbedaan pendapat yang tidak terlalu penting antara keduanya. Atasan Agus benar-benar menunjukkan rasa tidak suka terhadapnya. Ia tidak lagi diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. "Bahkan dia tidak lagi memberikan saya dokumen maupun pekerjaan baru," keluh Agus. "Sangat memalukan duduk di depan meja kosong tanpa tahu apapun dan tidak seorangpun yang membantu saya". Lantaran tidak tahan lagi, lalu Agus mengundurkan diri.

Para ahli SDM mengatakan, dari segala bentuk kekerasan, tindakan memperlakukan karyawan ditempat umum adalah yang terburuk. Pada awalnya, si karyawan mungkin tidak langsung mengundurkan diri, akan tetapi pikiran itu sudah tertanam. Jika kejadian terulang lagi, pikiran tersebut akan semakin kuat. Dan akhirnya, pada kejadian yang ketiga, karyawan itu akan mulai mencari pekerjaan lain. Ketika seseorang tidak bisa membalas kemarahannya, ia akan melakukan pembalasan "pasif". Biasanya dengan cara memperlambat pekerjaan, berleha-leha, hanya melakukan pekerjaan yang disuruh atau menyembunyikan informasi penting. "Jika kita bekerja untuk orang yang menyebalkan, pada dasarnya kita ingin orang itu mendapat kesulitan. Jiwa dan pikiran kita tidak menyatu lagi dengan pekerjaan kita," papar Agus.

Para manajer bisa menekan bawahan melalui beragam cara. Misalnya dengan mengontrol bawahan secara berlebihan, curiga, menekan, terlalu kritis, bawel, dan sebagainya. Namun para atasan tersebut tidak sadar bahwa karyawan bukan merupakan aset tetap, mereka adalah manusia bebas. Jika ini terus berlanjut, maka seorang karyawan akan mengundurkan diri, walau tampaknya cuma karena masalah sepele saja.

Bukan pukulan ke-100 yang menjatuhkan seseorang, tapi 99 pukulan yang diterima sebelumnya. Memang benar, karyawan meninggalkan pekerjaannya karena bermacam alasan untuk kesempatan yang lebih baik atau kondisi yang tidak memungkinkan lagi. Namun banyak yang semestinya tetap tinggal jika tidak ada satu orang (seperti atasan Lesmana) yang terus-menerus mengatakan, "Kamu tidak penting, saya bisa dapat lusinan orang yang lebih baik dari kamu!".

Kendati tersedia segudang pekerjaan lain (terlebih dalam keadaan pengangguran tinggi sekarang ini), bayangkanlah sesaat, berapa biaya atas hilangnya seorang karyawan yang bertalenta tinggi.. Ada biaya yang harus dibayar untuk mencari pengganti, ada biaya pelatihan bagi pengganti karyawan tersebut. Belum lagi akibat yang ditimbulkan karena tidak ada orang yang mampu melakukan pekerjaan itu saat calon pengganti sedang dicari, kehilangan klien dan kontak yang dibawa pergi karyawan yang hengkang, penurunan moral karyawan lainnya, hilangnya rahasia penjualan dari karyawan tersebut yang seharusnya diinformasikan ke karyawan lainnya, dan yang terutama turunnya reputasi perusahaan. Lagi pula, setiap karyawan yang pergi, bagaimanapun juga akan menjadi "duta" untuk mewartakan hal yang baik maupun yang buruk dari perusahaan itu.

Kita semua tahu suatu perusahaan telekomunikasi besar yang orang-orang ingin sekali bergabung, atau suatu bank yang hanya sedikit orang ingin menjadi bagiannya. Mantan karyawan kedua perusahaan ini telah keluar untuk menceritakan kisah pekerjaannya. "Setiap perusahaan yang berusaha memenangkan persaingan harus memikirkan cara untuk mengikat jiwa setiap karyawannya", kata Jack Welch mantan orang nomor satu di General Electric. Umumnya nilai suatu perusahaan terletak "di antara telinga" para karyawannya. Karyawan juga manusia, punya mata, punya hati.....

Sumber: Gaji Tinggi Bukan Segalanya oleh JUNIUS LEE,CEO & Managing Consultant JCI Kimberley Executive Search International (Recruitment Consultants)


Membanding-bandingkan..

ini yg terjadi saat aku lg capek ma kerjaan..eh pas brow malah dpt teguran..hihihihi..

Mental Buruk Membanding-bandingkan

Salah satu kebiasaan buruk masyarakat kita adalah penyakit
membanding-bandingkan. Coba perhatikan saat orang sedang bergosip
ria. Anda pasti akan mendengarkan orang yang doyan membangga-
banggakan dan membanding-bandingkan satu sama lain. Selain itu,
beberapa acara di TV juga kentara sekali memamerkan dan membanding-
bandingkan satu selebritas dengan selebritas lainnya.

Memang tidak selamanya buruk. Semangat membandingkan dengan orang
lain, membuat kita sadar bahwa ada orang yang lebih baik dan lebih
berhasil daripada kita. Namun, sikap membanding-bandingkan punya
akibat yang buruk bagi perkembangan mental apabila tidak diimbangi
dengan mentalitas yang konstruktif.

Pertama, sikap membanding-bandingkan membuat kita seperti 'minum
dari air laut'. Jadi tidak pernah ada puas-puasnya, malahan kita
semakin kehausan hingga akhirnya kita kelelahan sendiri.

Saya mengenal seorang pria yang selalu berkompetisi dengan kakak dan
adiknya. Padahal, secara finansial hidupnya sebenarnya pas-pasan.
Namun, demi menjaga gengsi di mata orang tua ataupun adik-adiknya,
dia terus berusaha mengimbangi bahkan melebihi adik dan kakaknya
secara material. Akhirnya, semua itu membawa dirinya menjadi
berutang yang cukup banyak.

Kedua, sikap membanding-bandingkan membuat kita berada dalam sebuah
herarki yang tidak ada putusnya. Saat Anda merasa iri dengan
supervisor Anda, mungkin si supervisor Anda pun merasa iri dengan
manajernya. Lalu si manajer iri dengan direkturnya. Si direktur ini
pun iri dengan direktur yang lain. Demikianlah, semua ini tidak
pernah ada putusnya.

Ketiga, mentalitas membanding-bandingkan membuat energi emosi kita
lebih banyak dihabiskan untuk hal-hal yang justru negatif. Misalkan
saja, melihat rekan ataupun teman Anda yang lebih berhasil, Anda pun
jadi merasa iri, sebel, cemburu, dan marah. Reaksi semacam ini
membuat kebanyakan orang justru terjebak dalam energi yang negatif,
seperti berusaha mencari-cari kekurangan orang tersebut. Bahkan, ada
yang berusaha mengalahkan dengan cara yang tidak pantas.

Bagaimanakah tipsnya agar kita tidak terjebak dalam sikap membanding-
bandingkan yang negatif dan akhirnya justru membenamkan potensi diri
kita sendiri?

Standar sendiri

Pertama, bangunlah standar Anda sendiri. Dalam pelatihan dan
seminar, saya tidak bosan-bosannya mengatakan kalimat yang
terinpsirasi dari kisah hidup banyak orang sukses, "Saya tidak
membandingkan diri saya dengan orang lain. Namun, saya punya standar
kesempurnaan yang saya kejar terus-menerus sepanjang saya masih
punya napas". Itulah semangat yang dikatakan Donald Trump ataupun
Andy Groove, orang yang berjasa sekali membesarkan Intel.

Kedua, sadarilah saat Anda membanding-bandingkan diri dengan mereka,
mereka pun membanding-bandingkan dengan Anda. Saya pernah mengalami
pengalaman menarik tatkala masih pada awal karier saya sebagai
pembicara dan penulis.

Saya sangat mengagumi seorang penulis dan pembicara yang sangat
produktif. Suatu ketika, saat ketemu, dia pun ternyata mengatakan
dia merasa iri dengan beberapa aspek pencapaian dalam kehidupan
saya. Saya pun akhirnya sadar, ini bagian dari permainan kehidupan
yang mesti kita sadari.

Kita akan selalu membanding-bandingkan. Kamu hebat di mana, kamu
punya apa, dan seterusnya membentuk suatu daftar panjang yang tidak
akan berhenti. Karena itulah, satu-satunya cara adalah tidak
membanding-bandingkan dan tidak melihat orang lain dengan perasaan
iri. Ingatlah, belajar dari kisah saya di atas, mungkin dia sendiri
pun sedang melihat Anda saat ini dengan irinya.

Ketiga, setop membanding-bandingkan dan belajar untuk bersyukur
dengan apa yang kita capai saat ini. Selama kita sadar bahwa kita
telah berusaha secara maksimal dan inilah yang mampu kita capai,
belajarlah bersyukur atas apa yang boleh kita nikmati.

Kita tidak perlu khawatir ataupun risau dengan apa yang mereka
miliki. Sejauh kita tetap mengembangkan diri kita, tetap dengan
rajin dan gigih mau berjuang, saya percaya kita akhirnya akan
menikmati seperti yang orang lain nikmati. Namun, kita tidak boleh
merasa iri. Memang, pada akhirnya setiap orang sudah punya path
(jalannya) sendiri-sendiri.

Ada yang jalannya lebih cepat, ada yang lebih perlahan. Namun, kita
tak perlu iri apalagi marah dengan 'rumput tetangga yang tampaknya
lebih hijau'. Belajar terima kondisi 'rumput' kita saat ini tetapi
rajin-rajinlah merawat dan melihat serta mengembangkan kondisi
rumput kita. Mungkin suatu ketika, rumput kita pun akhirnya akan
sehijau rumput tetangga. Bahkan, mungkin lebih bagus.

Keempat, kalaupun ingin membanding-bandingkan, bandingkanlah dengan
dirimu sendiri. Cobalah lihat apakah kehidupan Anda secara umum ada
kemajuan dan perkembangan yang lebih baik? Secara spiritual,
finansial, karier, emosional, mental (pengetahuan) atau hubungan
sosial, bagaimana perkembangannya?

Hal ini akan lebih positif dan lebih baik untuk memotivasi Anda
menjalani grafik yang semakin menanjak dalam kehidupan Anda. Di sisi
lain, energi yang dipakai juga energi positif.

Akhirnya, kalaupun Anda masih terobsesi dengan orang lain, lihatlah
bukan dengan kacamata perasaan iri, marah, ataupun sebel. Namun,
dengan kacamata ingin tahu bagaimana caranya Anda bisa mencontoh apa
yang mereka lakukan sehingga Anda pun bisa sesukses mereka-mereka
ini. Dengan demikian, cara membandingkan Anda disertai dengan sikap
dan emosi yang positif.

Sumber: Mental Buruk Membanding-bandingkan oleh Anthony Dio Martin,
Managing Director HR Excellency

Tabiat buruk

diambil dr millist tetangga...

Sakit adalah kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Selain harus
bolak-balik ke dokter, segala aktivitas Anda pun bakal terganggu untuk
beberapa waktu.

Sebagian besar penyakit memang disebabkan karena gaya hidup dan pola
makan yang tidak benar.

Tapi tahukah Anda? Bahwa beberapa peyakit yang menyebabkan tubuh Anda
sakit ternyata berkaitan erat dengan kondisi emosi Anda yang tidak
stabil, pikiran yang selalu negatif serta kepribadian "buruk" yang
Anda miliki.

Nah, jika Anda sekarang merasa memiliki 'satu' kepribadian buruk yang
masih 'terpelihara', mungkin memang sekaranglah waktunya bagi Anda
untuk menjadi pribadi yang menyenangkan sekaligus memiliki tubuh yang
sehat dan fit.

Ingin tahu, sifat negatif apa saja yang dapat membuat tubuh Anda tidak
sehat?
PEMBOSAN "berat" = Sakit Kepala, Arthritis, Asma, Jantung

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kebosanan
dan sakit kepala yang Anda alami. Sekarang tanyakan pada diri Anda
sendiri, apakah hari-hari Anda selama ini terlihat monoton dan Anda
hanya melakukan aktifitas yang itu-itu saja setiap hari? Jika ya,
kemungkinan Anda akan mudah terserang penyakit Arthritis, Asma, atau
penyakit jantung. Alasannya adalah rasa bosan pada diri Anda dapat
melahirkan emosi negatif pada tubuh, sehingga dengan mudah
meningkatkan stres dan memperlemah sistim kekebalan tubuh sehingga
Anda akan dengan mudah diserang berbagai penyakit. Tidak hanya itu,
kebosanan juga dapat mempengaruhi kebiasaan makan Anda. Apakah masih
teringat bagaimana Anda menghabiskan begitu banyak cemilan manis atau
asin saat menunggu seseorang?
RASA CEMAS dan PANIK berlebihan = Gangguan Lambung

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Douglas Drossman, seorang dosen
kedokteran dari University of North Carolina, ditemukan bahwa
perempuan yang memiliki rasa cemas yang berlebihan pada hal-hal kecil
sekalipun akan dengan mudah terserang gangguan pada lambungnya.
TIDAK SABAR dan EMOSIONAL = Penyakit Jantung dan Stroke

Anda gampang gusar jika ada hal-hal kecil yang menganggu? Atau Anda
gampang naik pitam saat seseorang membuat kesalahan di depan Anda?
Jika jawaban untuk semua pertanyaan di atas ya, maka berhati-hatilah.
Rasa marah serta ketidaksabaran ternyata dapat mengaktifkan sistem
kardiovaskuler secara terus menerus. Selanjutnya tekanan darah Anda
akan cepat naik, kecepatan pernapasan akan meninggi dan otot menjadi
tegang. Akhirnya Anda terserang penyakit jantung dan stroke.
TIDAK PERCAYA DIRI dan RENDAH DIRI = Mudah Sakit

Biasanya orang yang memiliki sikap mental yang seperti ini sering
terlibat pada hubungan yang buruk. Baik itu dalam lingkungan
pergaulannya maupun dalam keluarganya. Perasaan rendah diri
menyebabkan proses penyembuhan untuk setiap penyakit pada dirinya akan
terhambat, meskipun Anda hanya sekedar menderita sakit flu ringan, wah!

Jadi, sekarang terserah pada diri Anda. Ingin jadi pribadi yang
gembira dan menyenangkan sekaligus sehat atau justru sebaliknya?